Tuesday, May 25, 2021

-2014

Gue banyak melakukan kesalahan di hidup gue. Dari yang dampaknya ringan ataupun sampai fatal buat gue ataupun buat orang lain. 
7 -9 tahun yang lalu adalah masa kekelaman gue. banyak kesalahan-kesalahan yang merusak yang gue lakuin.
Salah satu hal yang paling menghantui adalah urusan perasaan.

I was so stupid and naive and manipulative and not using my head. Mungkin otak gue juga ga ada waktu itu. 
Self centred banget. 
Gue menjalin hubungan dengan 2 orang sekaligus dan get tangled on it. 
Dan udah gitu, gue masih ngerasa gue yang menjadi korban, karena berlindung di kondisi mental gue. 
Gue menuntut orang-orang ini untuk ngertiin gue. Gue ngerasa berhak mau ngapain aja. 
Gue ga sadar dan melupakan bahwa orang juga punya perasaan, punya ingatan, punya keinginan untuk dihargai. 

So, there was this girl, she's 19th, and I was 31. I was kind of using her to be my comfort zone to deal with all the shittines  on my life.  
I treated her poorly. I was high with her attention. I was craving for the feeling to be wanted. To be needed. 
I said 3 words, I thought I was in love.  
But there is another girl, my current girlfriend. And I am in love  too. 
I got confused  about everything.  I said mean words. I cheat, I lied, I am twisting some facts for my own benefits.
Everyone became my victims. 

Pada 2014/2015, I decided to try to make it work with my girlfriend, setelah berapa lama kusut banget hubungannya.  
Gue harshly cutting contact with the 19th yrs old girl. Gue ninggalin luka tanpa peduli untuk membantu. Terus terang gue ga sanggup juga sih kalau berlama-lama juga.  For years, gue ngebawa rasa malu, rasa bersalah, rasa takut sama konsekuensi, ego gue kegores karena gue bisa melakukan hal-hal di luar moral gue, rasa trauma sama kejadian-kejadian emosional. Paling besar sih rasa takut menghadapi diri sendiri dan perasaan orang lain. 

Gue memutus hubungan dan akses komunikasi secara total, dengan harapan sama-sama fokus pada masa depan masing-masing. 
Gue selama ini mikir kalau dia baik-baik aja, tetapi melalui salah satu teman, gue tau ternyata kondisi mental S  belakangan sedang ga baik dan ada kemungkinan salahsatunya disebabkan toxicnya hubungan kami saat itu. 

Beberapa waktu lalu kami akhirnya berkomunikasi, dengan perantara teman (baca: mantan gue), gue diberi kesempatan untuk minta maaf, gue agak lega, tapi sayangnya endingnya ga terlalu baik. Kayanya malah sama-sama trauma lagi. Gue harap permintaan maaf gue diterima. And I wish them well.  

Gue ngerasa sangat bersalah. Gue mengakui, I am the asshole. Ga seharusnya orang dewasa berumur 30an menggunakan kemampuan dan kondisi mentalnya untuk memanipulasi anak berumur 19th. Secara pengalaman dan kemampuan berfikir gue harusnya bisa lebih baik dan proper, terlepas dari kondisi mental gue.

Gue terus terang  masih bingung dan masih takut untuk approach hal ini. Di satu sisi, gue masih nyimpen takut dan mempercayai bahwa kami tidak perlu berhubungan adalah kondisi yang terbaik. Di sisi lain, gue punya keinginan untuk bisa membantu kalau ada yang bisa gue lakuin untuk rekonsiliasi agar kesehatan mental-nya S membaik dan bisa move on dengan dirinya.
In a away I  also hope,  gue juga bisa protect kesehatan mental gue dan partner gue.  



Lunch #1

Jadi hari ini gue dan team makan ke luar bareng, terus biasa ngebahas anggota team masing-masing. 
Sejujurnya individu-individu di kantor gue ajaib-ajaib. 
Tadi kami ngebahas satu teman, sebut saja T, yang baru lulus S1 tahun ini, setelah ganti 5-6 universitas, pas banget dia di umur 40th. 
Emang si teman ini memang agak random cara pikirnya, selow banget jadi orang, ga ada yang dikejar dalam hidup. 

Setelah ngalor ngidul tentang manusia dan perilaku ajaibnya, gue ceritalah tentang Lobus Frontalis dan apa perannya di hidup manusia dan proses perkembangannya. 
Terus gue sharing asumsi gue, kadang orang itu bukan karena faktor lingkungan aja , ada orang yang kehitung sudah dewasa tapi  ngambil sikap kurang wajar sebagai orang dewasa, tapi ada juga peranan biologis yaitu perkembangan otak yang sangat menentukan. 

Terus satu teman gue nyeletuk, "oh  si T itu bukannya kelamaan di sekolahnya, dia kecepatan masuknya." . HUAHAHAHHAHHAHAHAHHAHHAHAHHAHA
Gilak, itu lucu dan cerdas sih gue bilang. Sarkasnya level dewa. 
Kalau aja si T tau bahwa dia akan punya kesadaran menyelesaikan study di umur 40, kan dia ga perlu buang waktu, biaya dan tenaga untuk pindah-pindah kuliah selama 14th terakhir. Masuk aja kuliah di umur 37th hihihihi. 

Gue jadi merenung ulang, kadang-kadang orang gagal / ga berhasil melakukan sesuatu bukan karena dia ga bisa, tapi emang belum waktunya. Otak itu kan pemberian Tuhan ya, mungkin juga ini yang namanya waktunya Tuhan. 
Kaya puzzle, butuh semuanya semua sesuai tempat dan desainnya untuk bisa dibilang selesai dan bisa lanjut ke tingkat berikutnya. 


Tuesday, May 18, 2021

Lobus Frontalis

Semakin nambah umur, orang diharapkan menjadi lebih dewasa dan lebih bijak dalam hidup. Dulu gue selalu mikir ini kaitannya sama cara dibesarin, informasi yang diterima, akses informasi, IQ atau emang bawaan aja orangnya ga dewasa-dewasa.

Ternyata selain faktor budaya, value yang dipunyai, ada faktor fisik yang ga bisa diingkari sangat berpengaruh dalam cara kita berfikir, yaitu benda bernama otak. 

Salah satu bagian paling penting dari otak adalah lobus frontalis, fungsinya untuk mengendalikan gerakan, ucapan, perilaku, memori, emosi, dan kepribadian. Bagian otak ini juga berperan dalam fungsi intelektual, seperti proses berpikir, penalaran, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan perencanaan.
Menurut penelitian dari  jurnal neuroscience, bagian otak frontal lobe (lobus frontalis) adalah salah satu bagian otak yang akan berkembang paling belakangan, lobus frontalis akan sepenuhnya berkembang antara umur 20-35th,

Lo kebayang ga, orang yang fungsi intelektualnya belum berkembang secara penuh mengambil keputusan untuk hidup orang lain, contohnya urusan personal,  pernikahan. Ga harus sejauh punya anak, deh. Menikah, khususnya di Asia, melibatkan banyak orang. Kalau orang yang otaknya belum lengkap, terus dipercaya mengambil keputusan-keputusan penting,  mungkin malah berpotensi merusak hidup orang. Diri sendiri, pasangan, keluarga, keluarga pasangan dan seterusnya.

Meskipun ya, semua keahlian harus dilatih, ga ada yang tiba-tiba jago, kaya otak, kalau otak lo sudah lengkap tapi informasi tentang cara pikir itu salah maka tetap ga akan maksimal potensinya. Beberapa orang belangsak, tiba-tiba di usia tertentu jadi bener hidupnya, terus dibilang ketemu pencerahan, padahal yang terjadi otaknya udah fully function, jadi cara pikirnya udah lebih baik dari sebelumnya. Ini lucu sih sebenernya, otak kita udah lengkap tapi input yang kita masukkan salah, outputnya kurang benar. Banyak yang ngambil kesimpulan perubahan sikap dalam diri di usia tertentu asalnya murni dari hal lain di luar diri kita (baca: pengalaman spiritual). Padahal bisa jadi  sumber utama dari masa pencerahan itu dari diri lo sendiri. Elo bisa menerima "kebenaran", karena udah waktunya, otak lo mendukung.

Informasi ini sih bikin gue lebih paham soal manusia. Siapa tau kelakuan aneh-aneh, ga masuk akal itu semata karena urusan fisik, otaknya belum lengkap atau ada trauma di kepalanya yang mencegah otaknya berkembang secara penuh

Kayanya gue secara personal, otak gue mulai rewiring di umur 30an. rasanya otak gue full di umur 35. 
Jadi, se-klise ucapan orang yang lebih tua lebih tau, bisa jadi benar, karena orang yang lebih tua yang ngasih tau lo, otaknya udah lengkap, sedangkan otak lo belum.Ga perlu tersinggung, kalau otak lo udah lengkap juga, input orang bisa memperkaya diri. 

Ada ga sih yang bisa mengukur apakah otak kita sudah lengkap atau belum.  
Akan sangat menarik kalau bagian dari syarat punya anak adalah saat terbukti lobus frontalisnya beneran selesai berkembang. 

 Nanti gue akan update kalau gue dapat info cara ngukur brain maturity.